BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam memiliki keistimewaan tersendiri dibanding
dengan agama lain yang ada di dunia ini. Keistimewaan itu paling tidak dapat
dilihat dari fenomena yang terjadi pada masyarakat dunia penghuni bumi ini,
yaitu suatu realitas akan kebenaran
Islam sebagai ajaran yang dapat diterima sepanjang zaman dan di tempat manapun ]uga.
Hal ini dapat kita lihat dari salah satu bidang ilmu yaitu, ilmu ushul fiqh
untuk memahami ajaran islam dan sumber aslinya, Al-Qur’an dan Sunnah. Melalui
ilmu ushul fiqh dapat diketahui kaidah-kaidah, prinsip-prinsip umum syari’at
Islam, cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia.
Kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan manusia sangat
terbatas untuk menangkap pesan yang terdapat didalam Al-Qur’an ataupun Sunnah.
Karena keterbatasan itu dirasakanlah adanya suatu tindakan hokum tidak ditemui dalam dua sumber tadi. Maka
para ulama fiqh sepakat menjadikan ijma’ dan qiyas sebagai sumber ketiga dan
keempat ajaran islam yang akan kami bahas dan hal-hal yang terkait dengan ijma’
dan qiyas.
B. Rumusan masalah
1. Apa itu ijma’ dan qiyas?
2. Apa saja rukun dan syarat ijma’ dan qiyas yang harus
dipenuhi?
3. Apa saja macam-macam ijma’ dan qiyas?
4. Bagaimana kehujjahan ijma’ dan qiyas sbagai sumber
ajaran islam?
5. Bagaimana hokum mengingkari ijma’?
C. Tujuan penulisan
1. Mengetahui pengertian ijma’ dan qiyas baik itu secara
bahasa dan istilah
2. Mengetahui rukun-rukun dan syarat ijma’ dan qiyas
3. Mengetahui macam-macam ijma dan qiyas
4. Mengetahui bukti kehujjahan ijma’ dan qyas sebagai
sumber ajaran islam
5. Mengetahui hokum mengingkari ijma’
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ijma’
1. Pengertian
Secara bahasa Ijma’ berasal dari akar kata اجمع-يجمع-اجماعً
yang mengandung dua makna:
·
Bermakna
“ketetapan hati terhadap sesuatu (al- ‘azam watasmim ‘ala al-amr)”.
·
Bermakna
“kesepakatan terhadap sesuatu (al-ittifaq ‘ala al-amr)”.
Jadi Ijma’ menurut bahasa ialah mengumpulkan perkara
dan memberi hukum atasnya serta menyakininya.
Sedangkan ijma’ menurut istilah ialah kesepakatan
semua ahli ijtihad sesudah wafatnya Rasulullah SAW pada suatu masa atas sesuatu
hukum Rasulullah. Adapun menurut para ahli ushul fiqh pengertian ijma’ dapat
dikemukakan sebagai berikut :
a. Imam
Al-Ghazali yang menyatakan dalam kitab Al-Mustafa bahwa ijma’ merupakan suatu
kesepakatan umat Nabi Muhammad Saw atas satu perkara yang berhubungan dengan
urusan agama.
b. Imam Al-Subki
dalam kitabnya Matn jami’ Al-Jamawi, mengungkapkan bahwa ijma’ ialah suatu
kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya nabi Muhammad Saw terhadap persoalan
yang berkaitan dengan hukum syara’.
Dan adapula terdapat beberapa definisi dikalangan ulama
ushul kontmporer yaitu sebagai berikut:
a. Menurut Ali
Abdul Razak dalam bukunya al-Ijma’ Fi al-Syariat al-Islamiyat menyebutkan bahwa
ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat islam pada suatu masa atas suatu
perkara hukum syara’.
b. Menurut Abdul
Karim Zaidah dalam kitabnya al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh menyatakan bahwa ijma’
adalah kesepakatan dari para mujtahid umat islam pada suatu masa tentang hukum
syara’ setelah wafatnya nabi Muhammad Saw.
Kemudian, Murtadha Muthahhari dan M. Baqir Ash-Shadr dalam
buku pengantar ushul fiqh dan ushul fiqh perbandingan, mengungkapkan bahwa
ijma’ merupakan kesepakatan dengan suara bulat dari para ulama atas suatu
persoalan tertentu. Dan para ulama Syiah menjelaskan bahwasanya ijma’ merupakan
hujjah karena jika semua muslim memiliki kesatuan pandangan, ini merupakan
bukti bahwa pandangan tersebut diterima oleh Nabi. [1]
2.
Bukti
Kehujjahan Sebagai Sumber Ajaran Islam
a) Dalil Al-Qur’an
·
QS. An-Nisaa’ : 59
ياَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى
الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ
وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ
ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ ٥٩
Dari karya tulis skripsi Mohamad Jailani Kamil
menunjukkan bahwa Penafsiran Muhammad Quraish Shihab tentang Ulil Amri adalah
seseorang yang mempunyai wewenang untuk mengatur dirinya sendiri maupun orang
lain, baik dalam sebuah organisasi maupun lembaga resmi yang sesuai dengan
bidangnya masing-masing. Penafsiran Sayyid Quthb tentang Ulil Amri adalah
seseorang muslim yang berasal dari golongan sendiri, yakni seorang yang selalu
mempercayai Allah dan Rasul sebagai utusan Nya, dan berpegang teguh terhadap
Al-Qur’an dan as-Sunnah Nya.[2]
Dan dalam tafsir Jalalain Ulil Amri adalah
pemegang-pemegang urusan artinya para penguasa (diantaramu) yakni orang yang
menyuruhmu menaati Allah dan Rasul-Nya. Ibnu abbas juga menafsirkan bahwa ulil
amri adalah ulama. Maka dapat diartikan bahwa ijma’ memiliki kekuatan hukum,
dan wajib mematuhi hukum yang telah disepakati oleh seluruh mujtahid atau masa.
·
QS. Al-Baqarah : 143
وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء
على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا
Dalam tafsir Jalalain syuhada bermakna
saksi artinya sebagai umat yang adil dan
pilihan Saksi
di atas bersifat umum mencakup kesaksian akan apa yang diperbuat manusia, dan
kesaksian akan hukum perbuatan mereka. Di akhirat kelak umat islam bersaksi
bahwa manusia telah melakukan perbuatan begini dan begitu, dan juga bersaksi
bahwa perbuatan tersebut salah ataupun benar. Sedangkan saksi ucapannya mesti
diterima.
·
QS. An-Nisaa’ : 115
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له
الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مسيرا
Ayat di atas menjelaskan bahwa kesesatan ada di
luar ajaran Rasul dan jalan orang-orang beriman. Maka jika ajaran Rasul (wahyu)
atau kesepakatan kaum mukmin diikuti mestilah akan terhindar dari kesesatan.
b)
Hadist Rasulullah SAW
لا تجتمع أمتي على ضلالة
(HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, derajatnya
hasan menurut Syeikh Albani).
3. Rukun-Rukun Ijma’
Suatu hukum dapat dipandang sah manakala ijma' itu
telah memenuhi rukun-rukunnya, sebagai berikut:
1) pada saat terjadinya peristiwa tersebut, mujtahid itu
jumlahnya lebih dari seorang.
2) kesepakatan ulama atas suatu hukum itu dapat
direalisasikan.
3) adanya kesepakatan semua mujtahid umat islam atas
suatu hukum syar'i tentang suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa
memandang negeri mereka, kebangsaannya atau kelompoknya.
4) adanya kesepakatan mereka itu dengan menampilkan
pendapat masing-masing mereka secara transparan dan jelas mengenai suatu
kejadian baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
4. Syarat-Syarat Ijma’
1) Hendaknya orang yang melakukan ijma' adalah para
mujtahid yang profesional yang mempunyai problematika yang hendak disepakati.
2) Keputusan ijma' hendaknya berargumentasi pada
al-Qur'an dan hadist yang dijadikan sebagai salah satu argumentasi dalam
berijma’. Menurut al-Sinqit menjadikan qiyas dan ijtihad sebagai dasar
argumentasi ijma' terdapat tiga pandangan ulama, yaitu:
a. Utopis ( la yutasawwar)
b. Mungkin saja akan tetapi tidak bisa dijadikan hujjah
c. Realistis dan boleh, hal ini terjadi seperti konsensus
mengharamkan lemak babi (shahm al - khinzir) yang diqiyaskan dengan dagingnya.
5. Macam-Macam Ijma’
Para ulama Ushul Fiqh yang klasik maupun kontemporer
membagi ijma’ menjadi 2 macam yaitu:
1) Al-Ijma al-Sarih atau disebut ijma’ bayani, yaitu suatu
ijma’ dimana para ahli ijtihad mengeluarkan pendapat baik dalam lisan maupun
tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain
dimasanya. Imam Hafizuddin al-Nasafi
menyebut ijma’ sarih dengan ijma’ Qauli. Sedangkan Abdul Wahab menyebutnya
dengan ijma’ Hakiki. Ijma’ Sarih, Qauli maupun Hakiki mengandung pengertian
yang sama yaitu kesepakatan para mujtahid dimana kesepakatan tersebut
benar-benar jelas dan nyata, yang dapat dibuktikan dari ucapan masing-masing
mujtahid tersebut. Dengan kata lain ijma’ Sarih merupakan kesepatan yang secara
nyata baik dari ucapan para mujtahid itu sendiri terhadap suatu masalah yang
berhubungan dengan hukum syara’ dan kesepakatan seperti inilah yang disebut
ijma’ hakiki.
2) Al-Ijma’ al Sukuti yaitu ijma dimana para ahli ijtihad
diam, tidak mengatakan pendapatnya dan diam disini dianggap menyetujui. [3]
Adapun ijma’ ditinjau dari segi dalalahnya terbagi menjadi
2 yaitu :
1)
Ijma’
yang qath’i dalalahnya atas hukum (yang dihasilkan), yaitu ijma’ shorih, dengan
artian bahwa hukumnya telah dipastikan, dan tidak ada jalan mengeluarkan hukum
lain yang bertentangan. tidak pula diperkenankan mengadakan ijtihad mengenai
suatu kejadian setelah terjadinya ijma’ shorih atas hukum syara’ mengenai
kejadian itu.
2) Ijma’ dhonni dalalahnya atas hukum (yang dihasilkan) yaitu
ijma’ sukuti, dengan artian bahwa hukum itu didugakan menurut dugaan yang kuat,
dan tidak bisa di lepas bila kejadian itu terlepas dari usaha ijtihad. Karena
ia adalah hasil pencerminan pendapat jama’ah mujtahidin yang bukan keseluruhan.
[4]
Adapun berdasarkan jumlah pendapat yang ada ijma’ terbagi
menjadi dua yaitu :
1)
Ijma’
Basith, jika ijma’ tersebut merupakan kesepakatan terhadap sebuah pendapat maka
inilah yang disebut dengan basith ataupun sederhana. Dan inilah yang dimaksud
dengan ijma’ bila disebut secara mutlak.
2) Ijma’ murakkab, Adapun jika ijma’ para ulama berselisih
pendapat berlawanan dengan jenis pertama, maka disana terdapat ijma’ yang
murakkab alias tersusun dari beberapa pendapat tersebut. Sisi kesepakatannya
adalah mereka telah mufakat untuk berselisih kecuali menjadi dua atau tiga
pendapat tersebut, maka tidak boleh untuk membuat pendapat berikutnya yang
bertentangan atau menarikan pendapat yang telah ada.
Berdasarkan metode untuk mengetahuinya, ijma’ terbagi
menjadi dua yaitu :
1)
Ijma’
Manshul, yaitu ijma’ yang didapat dengan usaha seorang mujtahid mengeluarkan
kesimpulan ijma’ dari kitab-kitab para ulama terdahulu, dimulai dari mendata
ucapan-ucapan mereka, pendapat-pendapat mazhab dan seterusnya hingga sampai
pada kesimpulan bahwa dalam masalah ini tidak terdapat perselisihan.
2) Ijma’ Manqul, yaitu ijma’ yang diketahui dengan nukilan
dari ulama terdahulu yang mengatakan bahwa dalam perkara ini terdapat ijma’.
Selama nukilan itu shahih dan dapat dipertanggung jawabkan maka ijma’ dengan
cara ini pun dapat dianggap, dan tak
perlu untuk meneliti apakah banyak yang meriwayatkannya atau hanya dengan satu
orang.
Selain pembagian ijma’ diatas, masih ada ijma’ lainnya
seperti :
1)
Ijma’ salaby, yaitu
kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah pada masa tertentu.
2) Ijma’ ulama Madinah, yaitu kesepakatan para ulama Madinah di masa tertentu.
3) Ijma’ ulama kufah, yaitu kesepakatan ulama-ulama kuffah tentang suatu masalah.
4) Ijma’ khulafaur
rasyidin, yaitu kesepakatan
khalifah empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) pada suatu masalah.
5) Ijma’ Ahlu Baitm yaitu kesepakatan keluarga nabi dalam suatu masalah.[5]
6. Hokum Mengingkari Ijma’
Hokum orang yang mengingkari hasil
ijma’ terdapat dua pendapat, sebagai berikut :
a.
Kufur
Kedudukan orang yang mengingkari
hukum ijma' menurut sebagian ulama adalah kufur, jika mengingkari hasil ijma' shorih, hal ini disebabkan karena
sanad dari ijma' shorih itu dari sudah mutawatir disepakati, maka hukum yang
telah disepakati juga bersifat qath'i.
Akan tetapi menurut imam fakhrurrazi
hukum yang diriwayatkan oleh perorangan tidak dapat dijadikan hujjah. Dengan
pengecualian sifatnya qath'i. Jika tidak bersifat qathi maka sanadnya menjadi
bersifat dzhanni. Dengan demikian, mengingkari ijma’ berarti mengingkari dalil
qath’I, mengingkari kebenaran Rasulullah SAW, yang berarti kufur.
b.
Tidak Kufur
Sebagian ulama yang lain
berpendapat, tidaklah kufur, karena dalil dari kehujjahan ijma’ adalah dzhanni.
Muhammad Khudari Beyk mengatakan mengkafirkan seseorang secara mutlak kepada
orang yang mengingkari hokum hasil ijma’ tidak benar. Begitu juga pendapat imam
haramain bahwa telah mahsyur dikalangan ulama fiqh bahwa tidak benar
mengkafirkan orang yang mengingkari hokum hasil ijma’. Adapun terhadap hasil
ijma’ yang dzanni juga tidak sampai mengakibatkan seseorang kafir.
B.
Qiyas
1.
Pengertian
Secara bahasa, qiyas berasal dari bahasa arab yang merupakan bentuk
Masdar dari kata قياس – يقيس – قاس yang berarti mengukur,
membandingkan, menganalogikakan, menyamakan.
Sedangkan secara istilah, qiyas dapat
dipahami sebagai “mengukur atau memastikan Panjang, berat atau kualitas
sesuatu, satu kata qiyas berarti mengukur atau menaksir suatu hal terhadap hal
lain.
Perdebatan ulama terhadap pengertian qiyas,
yaitu antara yang mengartikan qiyas sebagai mode penggalian hukum yang harus
tunduk dan nash, dan yang mengartikan qiyas sebagai sumber hukum yang berdiri
sendiri di luar nash. Terdapat beberapa definisi pengertian qiyas yang telah
dipaparkan oleh Amir Syarifuddin diantaranya:
1) Al-Ghazali dalam al-Mustafa
mendefenisikan qiyas:
حمل معلوم على معلوم في إثبات حكم لهما
اونفيه عنهما بأمر جامع بينهما من إثبات حكم او نفيعه عنهما
Artinya: “menanggungkan sesuatu yang di
ketahui kepada sesuatu yang diketahui sesuatu dalam hal menetapkan hukum pada
keduanya dan meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara
keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.”
2) Ibnu Subki dalam bukunya jam’u al-jawmi memberikan
definisi qiyas :
حمل معلوم على معلوم لمساواته في علةحكمه
عندالحامل
Artinya: “menghubungkan sesuatu kepada
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu karena kesamaannya dalam illat hukumnya
menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid)”.
3) Imam baidhowi dan mayoritas ulama
syafi’iyyah mendefinisikan qiyas :
إثبات مثل حكم معلوم في آخرلاشتار كهما في
علة الحكم عند المثبت
Artinya: “membawa hukum yang belum di
ketahui kepada hukum yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi
keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupu sifat”.
4) Qiyas menurut Abu Zahrah adalah:
إلحاق أمر غير منصوص على حكمه بأمر آخر منصوص
على حكمه لاشتار كهما في علة الحكم
Artinya: “menghubungkan sesuatu perkara
yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya
karena keduanya berserikat kepada ‘illat hukum”.
5) DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas:
التعريف الاول : الباقلاني واختاره جمهور المحققين من الشافعي : وهو حمل معلوم على
معلوم في إثبات حكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من حكم او صفة
Artinya: “menyatukan sesuatu yang tidak
disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh
nash, disebabkan kesatuan ‘illat antara keduanya”.
6) Menurut ulama ushul fiqh, Qiyas adalah
menetapkan hukum dari suatu kejaidan atau peristiwa yang tidak ada dasar nash
nya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat
antara kedua kejadian atau peristiwa tersebut.[6]
2.
Bukti Kehujjahan
a.
Dalil Al-Qur’an
·
QS. An-Nisaa’ : 59
ياَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا
اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ
تَأْوِيْلًا
Dalam ayat ini, Abdul Wahab Khallaf
menyebutkan alasan pengambilan dalil ayat di atas sebagai dalil qiyas,yakni
bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada orangorang yang beriman untuk
mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan dan dipertentangkan di antara
mereka kepada Allah dan Rasulullah jika mereka tidak menemukan hukumnya dalam
al-Qur‟an maupun Sunnah. Sedangkan mengembalikan dan merujukkan permasalahan
kepada Allah dan Rasul adalah mencakup semua cara dalam mengembalikan
permasalahan itu.[7]
·
QS. Al-Hasyr : 2
هُوَ ٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلَّذِينَ
كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ مِن دِيَٰرِهِمْ لِأَوَّلِ ٱلْحَشْرِ ۚ مَا
ظَنَنتُمْ أَن يَخْرُجُوا۟ ۖ وَظَنُّوٓا۟ أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمْ حُصُونُهُم
مِّنَ ٱللَّهِ فَأَتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا۟ ۖ وَقَذَفَ
فِى قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعْبَ ۚ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِى
ٱلْمُؤْمِنِينَ فَٱعْتَبِرُوا۟ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ
Dalam ayat ini terletak pada kalimat
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang memiliki
wawasan. Artinya adalah jika kamu berbuat seperti mereka, maka akan mendapatkan
hukuman yang sama seperti mereka, maksudnya adalah mengambil pelajaran dengan
sesuatu yang sebanding.
b.
Hadist Rasulullah SAW
قوله صلى الله عليه وسلم لمعاذ لما
إلى اليمان : كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟قال : اقضي بكتاب الله قال : فإن لم تجد في
كتاب الله؟ قال :فبسنة رسول الله قال :فإن لم تجد في سنة رسول الله ولا في كتاب
الله؟ قال : أجتهد رأيي ولا الو فضرب رسزل الله صلى الله عليه وسلم صدره وفال :
الحمد لله اللذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول الله ]رواه أحمد وابو داود والترمذي[
Hadis di atas menurut mayoritas
ulama ushul fiqh mengandung pengakuan Rasulullah terhadap qiyas, karena praktik
qiyas adalah satu macam dari ijtihad yang mendapatkan pengakuan dari Rasulullah
saw dalam dialog tersebut.
3.
Rukun dan Syarat-Syarat Qiyas
Para ahli Ushul yang mempergunakan
qiyas sebagai dalil dalam menetapkan ketika qiyas itu telah memenuhi rukunnya.
Rukun qiyas ada empat:
1)
Ashlun, yaitu merupakan hukum pokok yang
diambil persamaan atau sesuatu yang ada nash hukumnya. Syarat-syarat ashl:
a)
Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang
masih ada pada pokok. Kalau sudah tidak ada misalnya, sudah dihapuskan
(mansukh) maka tidak mungkin terdapat perpindahan hukum.
b)
Hukum yang ada dalam pokok harus hukum Syara'
bukan hukum akal atau hukum bahasa.
2)
Far'un, yaitu merupakan hukum cabang yang
dipersamakan atau sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Syarat-syarat:
a)
Hukum cabang tidak lebih dulu adanya daripada
hukum pokok.
b)
Cabang tidak mempunyai kekuatan sendiri.
c)
'Illat yang terdapat pada hukum cabang harus
sama dengan 'Illat yang terdapat pada pokok.
d)
Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
3)
"Illat, yaitu sifat yang menjadi dasar
persamaan antara hukum cabang dengan hukum pokok. Syarat-syaratnya:
a)
'Illat harus berupa sesuatu yang terang dan
tertentu.
b)
Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila
berlawanan maka nash yang didahulukan.
4)
Hukum, yaitu merupakan hasil dari qiyas
tersebut. Lebih jelasnya biasa dicontohkan bahwa Allah telah mengharamkan arak,
karena merusak akal, membinasakan badan, menghabiskan harta. Maka segala
minuman yang memabukkan dihukumi haram. Dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
·
Segala minuman yang memabukkan adalah far'un
atau cabang artinya yang diqiyaskan.
·
Arak, adalah yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan atau mengqiyaskan hukum, artinya ashal atau pokok.
·
Mabuk merusak akal, adalah lat penghubung atau
sebab.
·
Hukum, segala yang memabukkan hukumnya haram.
Bahwasanya Allah SWT tidaklah
mensyariatkan suatu hukum melainkan untuk suatu kemaslahatan dan bahwasanya
kemaslahatan hamba merupakan sasaran yang dimaksudkan dari pembentukan hukum.
Maka apabila suatu kejadian yang tidak ada nashnya menyamai suatu kejadian yang
ada nashnya dari segi 'Illat hukum yang menjadi mazhinnah al-maslahah, maka
hikmah dan keadilan menuntut untuk dipersamakannya dalam segi hukum, dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan yang menjadi tujuan Syari' (pembuat hukum) dari
pembentukan hukumnya.
Keadilan dan kebijaksanaan Allah
tidak akan sesuai jika Dia mengharamkan minuman khumr karena ia memabukkan dengan
maksud untuk memelihara akal hamba-Nya dan minuman keras lainnya yang
didalamnya mengandung ciri-ciri khas khamr, yaitu memabukkan. Karena acuan
larangan ini adalah memelihara akal dari sesuatu yang memabukkan, sedangkan
meninggalkan pengharaman minuman keras lainnya merupakan suatu penawaran untuk
menghilangkan akal dengan sesuatu yang memabukkan lainnya.
Dan bahwasanya qiyas merupakan dalil
yang dikuatkan oleh fitrah yang sehat dan logika yang benar, sesungguhnya orang
yang dilarang meminum minuman karena minuman itu beracun. Maka ia akan
mengqiyaskan segala minuman yang beracun dengan minuman tersebut. Maka qiyas
merupakan sumber pembentukan hukum yang sejalan dengan kejadian yang terus
menerus datang dan menyingkap hukum Syari'at terhadap berbagai peristiwa baru
yang terjadi dan menyelaraskan antara pembentukan hukum dan kemaslahatan.
4.
Macam-Macam Qiyas
Ulama ushul diantaranya al-Amidi dan asy-Syaukani, mengemukakan
bahwa qiyas terbagi kepada beberapa segi, antara lain :
1.
Dilihat dari segi kekuatan illat yang terdapat
pada furu':
a)
Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang illat-nya
mewajibkan adanya hukum. Dan hukum yang disamakan (cabang) mempunyai kekuatan
hukum yang lebih utama dari tempat menyamakannya (ashal). Misalnya, berkata
kepada kedua orang tua dengan mengatakan "uh", "eh",
"buset", atau kata-kata lain yang menyakitkan maka hukumnya haram.
Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Isra ayat 23 berikut:
...فلا تقل لهما افت...
Artinya … maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah".....(QS. Al-Isra :23)
Maka mengqiyaskan berkata
"uh", "buset", dan sebagainya bahkan dengan memukul itu
hukumnya lebih utama. Dengan demikian, berkata "uh" saja tidak boleh
apalagi memukulnya, karena memukul tentu lebih menyakitkan.
b)
Qiyas musavi, yaitu qiyas yang illat-nya
mewajibkan adanya hukum yang sama antara hukum yang ada pada asal dan hukum
yang ada pada furu (cabang). Contohnya keharaman memakan harta anak yatim
sesuai dengan firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 10 berikut:
إن الذين يأكلون أموال اليتمى ظلما
إنَّما يأكلون فى
بطونهم
نارا وسيصلون سعيرا
Artinya
: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, maka
sesungguhnya mereka itu menelan api neraka ke dalam perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api neraka yang menyala - nyala. (QS. An-Nisa: 10)
c)
Qiyas adna, yaitu 'illat yang ada pada far'u
(cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan illat yang ada pada ashal.
Misalnya sifat memabukkan yang terdapat dalam minuman keras seperti bir itu
lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamr yang
diharaīmkan dalam al-Qur'an.
2.
Dilihat dari segi kejelasan 'illat hukum.
a)
Qiyas july, yaitu qiyas yang illat nya
ditegaskan oleh nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal, atau illat-nya itu
tidak ditegaskan oleh nash, tetapi dapat dipastikan bahwa tidak ada pengaruh
dari perbedaan antara ashal dan furu. Contohnya, dalam kasus dibolehkannya bagi
musafir laki-laki dan perempuan untuk mengqashar shalat ketika perjalanan,
sekalipun diantara keduanya terdapat perbedaan (kelamin). Tetapi perbedaan ini
tidak mempengaruhi terhadap kebolehan wanita mengqashar shalat. illat-nya
adalah sama-sama dalam perjalanan. Dan mengqiyaskan memukul orang tua kepada
larangan berkata "ah" seperti pada contoh qiyas aulawi sebelumnya.
b)
Qiyas klufy, yaitu qiyas yang illat-nya tidak
disebutkan dalam nash. Contohnya mengqiyaskan pembunuhan dengan menggunakan
benda berat kepada pembunuhan dengan menggunakan benda tajam dalam pemberlakuan
hukum qiyas, karena iilat-nya sama-sama yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan
sengaja.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Ijma’ menurut ialah kesepakatan semua ahli
ijtihad sesudah wafatnya Rasulullah SAW pada suatu masa atas sesuatu hukum
Rasulullah.
2.
Qiyas adalah menetapkan hukum dari suatu
kejaidan atau peristiwa yang tidak ada dasar nash nya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua
kejadian atau peristiwa tersebut.
3.
Rukun-Rukun Ijma’
1)
pada saat terjadinya peristiwa tersebut,
mujtahid itu jumlahnya lebih dari seorang.
2)
kesepakatan ulama atas suatu hukum itu dapat
direalisasikan.
3)
adanya kesepakatan semua mujtahid umat islam
atas suatu hukum syar'i tentang suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa
memandang negeri mereka, kebangsaannya atau kelompoknya.
4)
adanya kesepakatan mereka itu dengan
menampilkan pendapat masing-masing mereka secara transparan dan jelas mengenai
suatu kejadian baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
4.
Syarat-Syarat Ijma’
1)
Hendaknya orang yang melakukan ijma' adalah
para mujtahid yang profesional yang mempunyai problematika yang hendak
disepakati.
2)
Keputusan ijma' hendaknya berargumentasi pada
al-Qur'an dan hadist yang dijadikan sebagai salah satu argumentasi dalam
berijma’. Menurut al-Sinqit menjadikan qiyas dan ijtihad sebagai dasar
argumentasi ijma' terdapat tiga pandangan ulama, yaitu:
·
Utopis ( la yutasawwar)
·
Mungkin saja akan tetapi tidak bisa dijadikan
hujjah
·
Realistis dan boleh, hal ini terjadi seperti
konsensus mengharamkan lemak babi (shahm al - khinzir) yang diqiyaskan dengan
dagingnya.
5.
Macam-Macam Ijma’
Para ulama Ushul Fiqh yang klasik
maupun kontemporer membagi ijma’ menjadi 2 macam yaitu:
1)
Al-Ijma al-Sarih atau disebut ijma’ bayani,
2)
Al-Ijma’ al Sukuti
Adapun ijma’ ditinjau dari segi
dalalahnya terbagi menjadi 2 yaitu :
1)
Ijma’ qath’i
2)
Ijma’ dhonni
Adapun berdasarkan jumlah pendapat
yang ada ijma’ terbagi menjadi dua yaitu :
1)
Ijma’ Basith
2)
Ijma’ murakkab
Berdasarkan metode untuk
mengetahuinya, ijma’ terbagi menjadi dua yaitu :
1)
Ijma’ Manshul
2)
Ijma’ Manqul
Selain pembagian ijma’ diatas, masih
ada ijma’ lainnya seperti :
1)
Ijma’ salaby
2)
Ijma’ ulama Madinah
3)
Ijma’ ulama kufah
4)
Ijma’ khulafaur rasyidin
5)
Ijma’ Ahlu Bait
6.
Rukun-Rukun Qiyas
1)
Ashlun
2)
Far'un
3)
"Illat
4)
Hukum
7.
Macam-Macam Qiyas
1)
Dilihat dari segi kekuatan illat yang terdapat
pada furu':
a.
Qiyas aula
b.
Qiyas musawi
c.
Qiyas adna,
2)
Dilihat dari segi kejelasan 'illat hukum.
a.
Qiyas july
b.
Qiyas klufy
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Hakim, As-Sulam,
Maktabah As-Sa’adiyah Putra, Jakarta (2008)
Asrowi, Ijma’ dan Qiyas dalam
Hukum Islam, Jurnal Aksioma Al-Munasaqoh (2018)
Dinata, Muhd. Farabi, QIYAS
SEBAGAI METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM, Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh
Abdur Rauf (STAISAR) Aceh Singkil
Drs. Zakaria Syafe'I(1997), IJMA
SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM : (Kajian tentang Kehujjahan Ijma' dan Pengingkarannya),
Al-Qalam
Kamil, Mohamad Jailani, Makna
Ulil Amri menurut pandangan Quraish Shihab dan Sayyid Quthb dalam surat
an-nisa' ayat 59, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel,
Surabaya (2014)
Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M.A., Ilmu
Fiqh dan Ushul Fiqh, Rajawali Pers, Depok (2019)
[1]
Asrowi(2018), Ijma’ dan Qiyas dalam Hukum Islam, Jurnal Aksioma
Al-Munasaqoh : 34
[2] Kamil,
Mohamad Jailani,Makna Ulil Amri menurut pandangan Quraish Shihab dan Sayyid
Quthb dalam surat an-nisa' ayat 59, Surabaya : Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Ampel(2014)
[3] Asrowi(2018),
Ijma’ dan Qiyas dalam Hukum Islam, Jurnal Aksioma Al-Munasaqoh : 37
[4]
Drs. Zakaria Syafe'I(1997), IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM : (Kajian
tentang Kehujjahan Ijma' dan Pengingkarannya), Al-Qalam : 35
[5] Asrowi(2018),
Ijma’ dan Qiyas dalam Hukum Islam, Jurnal Aksioma Al-Munasaqoh : 38
[6]
Dinata, Muhd. Farabi, QIYAS SEBAGAI METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM, Sekolah
Tinggi Agama Islam Syekh Abdur Rauf (STAISAR) Aceh Singkil : 171
[7]
Fuad, Ahmad Masfuful, QIYAS SEBAGAI SALAH SATU METODE ISTINBĀṬ AL-ḤUKM,
Mazahib : Jurnal Pemikiran Islam (Juni 2016) : 45
[8] Dinata,
Muhd. Farabi, QIYAS SEBAGAI METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM, Sekolah Tinggi Agama
Islam Syekh Abdur Rauf (STAISAR) Aceh Singkil : 178
0 Komentar