Ad Code

Responsive Advertisement

MAKALAH: Institusi Yang Terkait Dengan Pelaksanaan Syariat Islam dan Adat Di Aceh

 

DAFTAR ISI

 

 

KATA PENGANTAR.......................................................................................... I

DAFTAR ISI......................................................................................................... II

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1

A.    Latar Belakang............................................................................................ 1

B.     Rumusan Masalah....................................................................................... 2

C.     Tujuan Masalah........................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 3

A.    Dinas Syariat Islam...................................................................................... 3

B.     Mahkamah Syar’iyyah.................................................................................. 4

C.     Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)....................................................... 5

D.    Baitul Mal.................................................................................................... 6

E.     Wilayatul Hisbah.......................................................................................... 10

F.      Pengaruh adat terhadap Syariat Islam di Aceh................................................ 13

G.    Relasi Lembaga-lembaga pelaksanaan Syariat Islam dengan Lembaga

 Adat Aceh................................................................................................... 15

BAB III PENUTUP.............................................................................................. 18

Ø  Kesimpulan................................................................................................. 18

Ø  Saran........................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 19

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Aceh merupakan sebuah provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam menerapkan syariat Islam sebagai hukum yang mengatur kehidupan masyarakatnya. Seiring berjalannya waktu, berbagai lembaga dan badan pelaksana syariat Islam di Aceh telah terbentuk untuk menjaga dan mempromosikan nilai-nilai serta prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam makalah ini, kami akan membahas berbagai lembaga dan badan tersebut, termasuk Dinas Syariat Islam, Mahkamah Syar'iyyah, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Wilayatul Hisbah, serta berbagai lembaga pelaksana syariat Islam lainnya yang berperan penting dalam membentuk dan menjaga identitas Islam di Aceh.

Aceh, yang juga dikenal sebagai "Serambi Mekah," telah menjadi pusat kegiatan Islam di Indonesia selama berabad-abad. Pada awal abad ke-13, Islam pertama kali diperkenalkan di Aceh melalui pedagang Arab dan India, dan sejak itu, agama ini telah menjadi bagian integral dari budaya dan kehidupan masyarakat Aceh. Namun, penerapan syariat Islam secara resmi di Aceh dimulai pada tahun 2001, ketika provinsi ini mendapatkan kewenangan khusus untuk menerapkan hukum Islam.

Dalam perkembangannya, lembaga-lembaga seperti Dinas Syariat Islam, Mahkamah Syar'iyyah, dan MPU telah menjadi penjaga utama pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Dinas Syariat Islam bertanggung jawab atas penyelenggaraan program pendidikan agama, penerapan syariat Islam, serta penyebaran nilai-nilai Islam di masyarakat. Mahkamah Syar'iyyah, di sisi lain, merupakan lembaga peradilan Islam yang menangani kasus-kasus hukum berdasarkan syariat Islam. MPU, sebagai badan konsultatif, memberikan pandangan dan rekomendasi tentang berbagai isu agama yang relevan bagi masyarakat Aceh.

Selain itu, Wilayatul Hisbah memainkan peran penting dalam menjaga ketertiban sosial berdasarkan hukum Islam. Mereka bertugas untuk mengawasi perilaku masyarakat dan memastikan bahwa norma-norma Islam dipatuhi. Selain itu, terdapat juga berbagai lembaga pelaksana syariat Islam lainnya yang memiliki peran unik dalam membentuk dan mengelola penerapan syariat Islam di Aceh.

 

Dalam makalah ini, kami akan membahas lebih lanjut tentang fungsi, peran, serta kedudukan lembaga-lembaga tersebut dalam memelihara dan mengembangkan syariat Islam di Aceh. Selain itu, kami juga akan membahas dampak penerapan syariat Islam terhadap masyarakat Aceh serta bagaimana lembaga-lembaga ini beradaptasi dengan perubahan zaman.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa saja Institusi Yang Terkait Dengan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh?

2.      Apa tugas, kedudukan dan wewenang dari setiap instusi tersebut?

3.      Bagaimana dengan Pengaruh adat terhadap Syariat Islam di Aceh?

C.     Tujuan Masalah

Dari rumusan masalah dapat disimpulkan bahwa tujuan penulis dalam Tujuan masalah dari makalah ini adalah untuk mengeksplorasi dengan lebih mendalam kedudukan, tugas, dan wewenang dari berbagai lembaga pelaksana syariat Islam di Aceh guna memahami peran mereka dalam masyarakat dan bagaimana mereka memengaruhi pelaksanaan syariat Islam.

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Dinas Syariat islam

1.      Kedudukan Dinas Syariat Islam

Dinas Syariat Islam merupakan instansi pemerintahan yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang dalam menegakkan Syariat Islam, dalam hal ini tentu Dinas Syariat Islam harus merealisasinya dengan kiprah atau upaya yang mengarahkan kepada tegaknya Syariat Islam secara kaffah, selain itu Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh dengan segala keterbatasan terus membenahi dan memaksimalkan fungsi serta kewenangan yang dimiliki. Masyarakat berharap Dinas Syariat Islam ini dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan pemerintah Kota Banda Aceh dengan baik

Sesuai dengan Qanun Kota Banda Aceh nomor 2 tahun 2008, Dinas Syariat Islam diberikan tugas dan kewenangan untuk melaksanakan bimbingan dan penyuluhan Syariat Islam yang meliputi aspek akidah, ibadah, muamalah dan akhlak, melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap penerapan qanun- qanun dan perundang-undang lainnya di bidang Syariat Islam, serta melakukan tindakan preventif atau pecegahan terhadap pelanggaran Syariat Islam.

Fungsi Lembaga Dinas Syariat Islam adalah mengatur jalannya pelaksanaan Syariat Islam. Tugas utamanya adalah menjadi perencana dan penanggung jawab atas pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh. Syariat Islam merupakan keseluruhan peraturan atau hukum yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah Swt, manusia dengan manusia, manusia dengan alam (lingkungan), baik yang diterapkan dalam Al-Qur’an maupun hadits dengan tujuan terciptanya kemaslahatan, kebaikan hidup umat manusia di dunia dan akhirat

 

2.      Tugas dan wewenang Dinas Syariat Islam

Adapun tugas dari Dinas syariat islam berdasarkan ketetapan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh, debagai berikut[1]:

a)    Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan perencanaan, penyiapan qanun Yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat islam serta mendokumendasikan dan menyebarkan hasil-hasil nya.

b)   Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan pernyiapan dengan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat islam.

c)    Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaan peribadatan dan penataan sarannya serta penyemarakan syariat islam.

d)   Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan bimbingan dengan pengawasan terhadap pelaksanaan syariat islam di tengah-tengah masyarakat,dan

e)    Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan pembimbingan dan penyuluhan syariat islam.

Secara umum dinas syariat islam di provinsi aceh memiliki fungsi sebagai pelaksanaan syariat islam berdasarkan pada ketetapan qanun yang sudah disepakati. Berdasarkan ketetapan tersebut dinas syariat islam memiliki fungsi yang luas dalam pelaksanaan tugas.

Sementara kewenangan Dinas syariat Islam, juga berdasarkan ketetapan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Bab II, Pasal 5, menetapkan: Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Dinas Syariat Islam mempunyai kewenangan sebagai berikut:

a)      Merencanakan program, penelitian dan pengembangan unsur-unsur Syariat Islam,

b)      Melestarikan nilai-nilai islam,

c)       Mengembangkan dan membimbing pelaksanaan Syariat Islam yang meliputi bidang-bidang aqidah, ibadah, mu'amalat, akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiah, amar makruf nahi mungkar, baitalmal, kemasyarakatan, Syiar Islam, pembelaan Islam, qadha, jinayat, munakahat dan mawaris;

d)      Mengawas terhadap pelaksanaan Syariat Islam, dan

e)      Membina dan mengawasi terhadap Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ).

 

B.     Wilayatul Hisbah (WH)

1. Kedudukan wilayatul Hisbah

Wilayatul Hibsah (WH) merupakan unit organisasi yang memiliki peran penting terhadap pengawasan pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh. hal ini sejalan dengan penjelasan Zulkarnaini, bahwa lembaga Wilayatul Hibsah adalah sebuah lembaga yang memiliki fungsi dan tugas pokok terhadap perilaku masyarakat agar sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Wilayatul Hibsah (WH) terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan syariat Islam Bab VI Pasal 20 Ayat (1) menetapkan bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban membentuk badan yang berwenang mengontrol/mengawasi (walayatul hisbah) pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini sehingga dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.

2. Tugas dan Kewenangan wilayatul hisbah (WH)

Menurut penjelasan Hasanuddin Yusuf Adnan Wilayatul Hisbah (WH) merupakan lembaga yang bertugas mengawasi, pembinaan, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang syariat Islam dalam rangka melaksanakan amar ma'ruf nahi mungkar. [2] Berdasarkan ketetapan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah, menetapkan pada Pasal 4:

(1) Wilayatul Hisbah mempunyai tugas;

a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran peraturan Perundang-undangan di bidang syariat Islam.

b. Melakukan pembinaan dan advokasi spritual terhadap setiap orang yang berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan di bidang syariat Islam.

c. Pada saat tugas pembinaan mulai dilakukan muhatsib perlu memberitahukan hal itu kepada penyelidik terdekat atau kepada Keuchik/Kepala Gampong atau keluarga pelaku.

d. Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang syariat Islam kepada penyidik.

Sementara kewenangan Lembaga Wilayatul Hisbah dalam pelaksanaan syarait Islam di Aceh yang diatur Keputusan Gubernur Aceh Nomor 1 Tahun 2004 tentang ntukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah, adalah berikut:

(1) Wilayatul Hisbah mempunyai kewenangan;

a. Melakukan Pengawasan terhadan pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan di bidang syariat Islam.

b. Menegur, menasihati, mencegah, dan melarang setiap orang yang patut diduga telah, sedang atau akan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang syariat Islam.

(2) Muhtasib berwenang

a. Menerima laporan pengaduan dari masyarakat.

b. Menyuruh berhenti seseorang yang patut diduga sebagai pelaku pelanggaran.

c. Meminta keterangan identitas setiap orang yang patut diduga telah dan sedang melakukan pelanggaran.

d. Menghentikan kegiatan yang patut diduga melanggar peraturan perundnag-undangan.

(3) Dalam proses pembinaan, Muhtasib berwenang meminta bantuan kepada Keuchik dan Tuha Peut setempat.

(4) Muhtasib dalam menjalankan tugas pembinaan terhadap seseorang minimal 3 kali dalam masa tertentu.

(5) Setiap orang yang pernah mendapatkan pembinaan petugas muhtasib, tetapi masih melanggar diajukan kepada penyidik.

Sejalan dengan ketetapan tersebut, kewenangan Lembaga Wilayatul Hisbah (WH) juga terdapat dalam Qanun Nomor 11 Tahun tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syariat Islam, Bab VI Pasal 14 menetapkan:

(1) Untuk terlaksananya Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi'ar Islam, Pemerintah Provinsi, Kabupaten /Kota membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun ini.

(2) Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong kemukiman, kecamatan atau wilayah/lingkungan lainnya.

(3) Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukup alasan telah terjadinya pelanggaran terhadap Qanun ini, maka pejabat pengawas (Wilayatul Hisbah) diberi wewenang untuk menegur/ menasehati si pelanggar.

(4) Setelah upaya menegur / menasehati dilakukan sesuai dengan ayat (3) di atas, ternyata perilaku sipelanggar tidak berubah, maka pejabat pengawas menyerahkan kasus pelanggaran tersebut kepada pejabat penyidik.

(5) Susunan organisasi Kewenangan dan tata kerja Wilayatul Hisbah diatur dengan Keputusan Gubernur setelah mendengar pertimbangan MPU.

 

C. Mahkamah Syar'iyyah

1. Kedudukan Mahkamah Syar’iyah

Mahkamah Syar'iyyah di Aceh saat ini merupakan perubahan dari peradilan Agama yang telah ada di Aceh, sama dengan provinsi lain. Namun khusus untuk provinsi Aceh karena dalam konteks pelaksanaan syariat Islam berdasarkan kebijakan pemerintah UU Nomor 44 tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh dan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus, maka, peradilan Agama tersebut di rubah menjadi Mahkamah Syar'iyyah.

Menurut penjelasan ridwan, pada awal pembentukan Mahkamah Syar'iyyah belum sepenuhnya dapat melaksanakan sesuai dengan qanun-qanun syariat Islam, karena tidak ada hukum acaranya. Keberadaan Mahkamah syar'iyyah yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 itu apakah juga berada pada lingkup peradilan yang ada di Indonesia, tidak disebut dengan jelas oleh undang-undang ini.

 Ridwan menambahkan bahwa, menghadapi keadaan yang demikian, maka pemerintah Aceh menyikapi dan mensahkan qanun Provinsi Aceh Nomor 10 tahun 2002 tentang Mahkamah Syar'iyyah, yang menetapkan kewenangan Mahkamah Syar'iyyah, kedudukan Mahkamah Syar'iyyah, dan organisasi Mahkamah Syar'iyyah. Namun setelah keluar Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar'iyyah yang memperkuat kembali kedudukan Mahkamah Syar'iyyah di Aceh. Akan tetapi keputusan Presiden ini lebih sempit dari kewenangan yang ada dalam à qanun Aceh. ini merupakan suatu kendala bagi Mahkamah Syar'iyyah dalam melaksanakan tugasnya." Eksistensi atau kedudukan Mahkamah Syar'iyyah terhadap pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh.

2. Tugas dan wewenang Mahkamah syar'iyyah

Kewenangan Mahkamah Syar'iyyah dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh ditetapkan dalam ketetapan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang peradilan syariat, Bab III kekuasaan dan kewenangan Mahkamah, menetapkan[3]:

Kewenangan Mahkamah Syar'iyyah, UU No. 18 Tahun 2001 menyarankan pada qanun provinsi Aceh.10 Kemudian, Kewenangan Mahkamah Syar'iyyah dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh ditetapkan dalam ketetapan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang peradilan syariat, Bab III kekuasaan dan kewenangan Mahkamah, menetapkan memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang; Ahwal al-syakhshiyah, Mu'amalah dan Jinayah

Pasal 50

(1) Mahkamah Syar'iyah Provinsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar'iyah dalam tingkat banding.

(2) Mahkamah Syar'iyah Provinsi juga bertugas dan berwenang mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar Mahkamah Syar'iyah di Nanggroe Aceh Darussalam.

Pasal 51

Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 50, Mahkamah dapat diserahi tugas dan kewenangan lain yang diatur dengan Qanun.

Berdasarkan ketetapan qanun 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam ini, Mahkamah Syar'iyyah memiliki dua tugas dan fungsi yaitu justisial dan non justisial. Pertama fungsi bidang Justisial, Mahkamah Syar'iyah mempunyai tugas untuk menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara antar orang Islam di bidang ahwal al-syakshiyah (hukum keluarga), Muamalah (perdata) dan Jinayah (pidana). Lihat ketetapan pasal 49 qanun Nomor 10 Tahun 2002. Kedua fungsi di bidang non yudisial meliputi pengawasan terhadap jalannya Mahkamah Syar'iyah (Pasal 52 Qanun Nomor 10 Tahun 2002)." Demikian terkait tugas dan fungsi justisial dan non justisial.

D. MAJELIS PERMUSYARAWATAN ULAMA

1. Kedudukan MPU

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) adalah lembaga yang memiliki kedudukan, tugas, dan wewenang penting dalam mengatur urusan agama di Aceh. Sebagai provinsi yang menerapkan syariat Islam, MPU memiliki peran strategis dalam menyusun kebijakan dan memberikan fatwa terkait berbagai aspek kehidupan masyarakat Aceh.

Kedudukan MPU di Aceh ditetapkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Aceh[4]. Pasal 246 UU tersebut menjelaskan bahwa MPU merupakan lembaga yang berfungsi menyelenggarakan perumusan, penetapan, dan pengendalian syariat Islam di Aceh.

Selain itu, MPU juga memiliki kedudukan sebagai lembaga penasihat dalam hal pengembangan dan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Kedudukan MPU yang diatur dalam UU ini menunjukkan kepentingan negara dalam menjaga keseimbangan antara otonomi daerah dan kerangka hukum nasional.

2. Tugas dan wewenang MPU

Tugas MPU di Aceh sangatlah luas dan memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan masyarakat. Terkait hal ini, Nurasyiah, ketua MPU Aceh, dalam sebuah wawancara menyatakan, "MPU memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberlangsungan dan keadilan dalam penerapan syariat Islam di Aceh. Kami akan terus memberikan pandangan dan masukan kepada pemerintah daerah agar penegakan hukum syariat Islam dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan ajaran agama Islam." (Liputan6, 2021). Adapun Salah satu tugas utama MPU adalah menyusun dan menetapkan qanun atau peraturan daerah yang berdasarkan syariat Islam. Qanun yang dihasilkan oleh MPU berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, seperti pernikahan, waris, hukum pidana, dan ekonomi syariah. Tugas MPU dalam penyusunan qanun ini penting guna mengatur kehidupan masyarakat agar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.[5]

Menjurut ketetapan Qanun Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Ulamam Mempunyai tugas, yaitu:

a)      Memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah Aceh dan DPRA dalam menetapkan kebijakan berdasarkan syari'at Islam. 

b)      Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah berdasarkan syariat Islam.

c)      Melakukan penelitian, pengembangan, penerjemahan, penerbitan, dan pendokumentasian terhadap naskah-naskah yang berkenaan dengan syariat Islam.

d)      Melakukan pengkaderan ulama.

 

            Adapun Wewenang MPU di Aceh juga mencakup pengawasan terhadap pelaksanaan syariat Islam. MPU memiliki tugas untuk mengendalikan dan memastikan bahwa qanun atau peraturan daerah yang berbasis syariat Islam dijalankan dengan baik oleh masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menjaga keberlanjutan dan konsistensi penerapan syariat Islam di Aceh.

Dalam pelaksanaan tugasnya, MPU juga bekerja sama dengan pemerintah daerah. Wewenang kerja sama ini diatur dalam Pasal 245 UU Aceh, yang menyebutkan bahwa MPU memiliki kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan syariat Islam. Hal ini menunjukkan bahwa MPU memiliki kedudukan yang sejajar dengan pemerintah daerah dalam menjaga keharmonisan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. 

Wewenang MPU juga tertulis pada pasal 5, yaitu:

(1) MPU mempunyai kewenangan:

a. Menetapkan fatwa terhadap masalah pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan;

b. Memberikan arahan terhadap perbedaan pendapat dalam masalah keagamaan baik sesama umat Islam maupun antar umat beragama lainnya.

(2) MPU kabupaten/kota mempunyai kewenangan:

a. Melaksanakan dan mengamankan fatwa yang dikeluarkan oleh MPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

b. Memberikan pertimbangan dan masukan kepada pemerintah kabupaten/kota yang meliputi bidang pemerintahan,

 

E.  BAITUL MAL

1. kedudukan Baitul mal

Baitul Mal merupakan lembaga keuangan publik yang bertanggung jawab dalam mengelola dana umat, memastikan redistribusi kekayaan yang adil, dan memberikan bantuan sosial kepada mereka yang membutuhkan. kedudukan Baitul Mal dalam penegakan syariat Islam di Aceh sangat penting. Baitul Mal memiliki peran vital dalam mengelola harta umat dan menyalurkannya kepada yang berhak menerimanya. Baitul Mal juga berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan keadilan sosial.

Baitul Mal di Aceh secara resmi berdiri pada tanggal 13 Januari 2004. Pembentukan lembaga Baitul Mal di Aceh berlandasan pada Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, kemudian Qanun ini direvisi dengan Qanun Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal.

1.Tugas dan Fungsi Baitul Mal Aceh

Selain memberikan bantuan sosial kepada masyarakat, baitul mal aceh juga bertugas untuk memastikan pemerintah aceh menjalankan aturan-aturan syariat islam secara baik dan konsisten. menurut pasal 109 undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan aceh, baitul mal aceh memiliki kewenangan untuk mengawasi penggunaan dana yang dikelola oleh baitul mal aceh. dengan demikian, baitul mal aceh berperan sebagai pengawas dan penjaga terhadap kehalalan penggunaan dana tersebut.

peran Baitul Mal dalam hal ini dilihat dari aspek kewenangan berdasarkan ketetapan qanun. Kewenangan dan kewajiban Baitul Mal Aceh berdasarkan ketetapan Qanun Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal, Bab III, Pasal 8, menetapkan:

(1) Baitul Mal mempunyai fungsi dan kewenangan sebagai berikut:

a. Mengurus dan mengelola zakat, wakaf, dan harta agama;

b. Melakukan pengumpulan, pendayagunaan zakat, penyaluran dan

c. Melakukan sosialisasi zakat, wakaf dan harta agama lainnya;

d. Menjadi wali terhadap anak yang tidak mempunyai lagi wali nasab, wali pengawas terhadap wali nashab, dan wali pengampu terhadap orang dewasa yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum

e. Menjadi pengelola terhadap harta yang tidak diketahui pemilik atau ahli warisnya berdasarkan putusan Mahkamah Syari'ah; dan

f. Membuat perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi umat berdasarkan prinsip saling menguntungkan.

 

F. Pengaruh Adat Terhadap Syariat Islam Di Aceh

1. Pengertian Adat dan Hukum Adat Dalam Beberapa Terminologi

Manusia adalah makhluk sosial, sebagai makhluk sosial manusia itu tidak dapat hidup seorang diri dan karna itu harus hidup bersama mengadakan pertalian. Dari hubungan timbal balik diantara sesama manusia itu kemudian terbentuklah suatu masyarakat. Agar terbina ketertiban dan kedamaian suatu masyarakat, diperlukan bermacam-macam norma, berupa peraturan-peraturan kesusilaan, kesopanan dan juga peraturan hukum. Tujuannya adalah sebagai social control dalam masyarakat itu, sehingga akan mengarahkan perilaku masyarakat dalam kehidupannya.

Salah satu dari pengaturan masyarakat itu adalah apa yang disebut dengan "adat". istilah kata adat secara etimologi, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang berarti "kebiasaan" pendapat lain mengatakan kata "adat" berasal dari bahasa Sangsengkerta yang terdiri dari kata "a" berarti "bukan" dan "dato" yang artinya "sifat kebendaan" dengan demikian adat sebenarnya bersifat inmaterial yang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sistim kepercayaan¹. Selain itu adat juga dilihat dari bahasa Inggris disebut dengan "habit, wont, custom, practice" dalam bahasa Jawa kata adat lebih disebut dengan istilah "ngadat", begitu pula dengan orang Gayo lebih menyebut adat dengan kata "edet" berarti adat.?

Selain etimologi di atas, Ratno Lukito mengatakan kata adat lebih populer diidentikkan dengan "adah" jamaknya "adat" yang berasal dari bahasa Arab yang berarti "kebiasaan atau praktek". Kata adat juga diidentikkan dengan kata "urf" yang lebih dimaksudkan kepada sesuatu yang telah diketahui. Menurut R. Van Dijk, istilah ini dapat diterima dalam semua bahasa Indonesia. Mulanya istilah itu berupa kebiasaan, dengan nama adat, namun tetap memberikan pengertian semua kesusilaan dan kebiasaan Indonesia disemua lapangan hidup juga semua peraturan tentang tingkah laku macam apapun. Jadi di dalamnya termuat pula peraturan hukum yang melingkupi bersama dari orang Indonesia.

Sedangkan dilihat dari makna terminologi, para ahli sosiologi mendifinisikan adat sebagai "sesuatu perbuatan bila terjadinya berulang kali hingga menjadi biasa dan gampang mengadakannya, itulah yang disebut dengan adat" definisi ini menekankan bahwa sesuatu itu tidak dikatakan adat kalau terjadi sesuatu itu tidak dilakukan berulang kali, karena dari pelaksanaan berulang tersebut akan menjadikan kebiasaan, inilah yang disebut dengan adat.

Kemudian dalam pandangan ahli hukum adat, adat itu didefinisikan sebagai "aturan-aturan yang sudah ada ditinggalkan oleh nenek moyang yang dipelihara terus dari masa kemasa, dan kepala-kepala adat tidak mempunyai kewenangan untuk mengubahnya menurut pendapat mereka sendiri" "Definisi ini menunjukkan bahwa adat itu adalah sebagai aturan yang sudah ada yang menjadi kebiasaan turun temurun dan tidak ada kewenangan bagi siapapun untuk mengubahnya.

Lebih lanjut Hazairin dalam pidato pengukuhan Guru besarnya mengatakan "adat itu kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat". Definisi ini lebih menunjukan bahwa adat itu berupa kaidah- kaidah kesusilaan yang timbul dalam masyarakat dan mendapat pengakuan sendiri dari masyarakat. Oleh karena itu pada kesempatan lain Hazairin kembali mengatakan "adat" yang kemudian disebutnya dengan "adat sejati" berupa warisan adat dari nenek moyang yang harus di hormati dan ada "adat yang diadatkan" berupa adat yang baru sebagai diciptakan untuk merubah adat lama. Di sini Hazairin membedakan adat itu kepada adat yang berasal dari nenek moyang dan ada adat yang diciptakan sebagai penambahan adat yang lama.

Pada perkembangannya setelah adat itu menjadi tradisi masyarakat, maka adat itu menimbulkan pengaruh untuk ditaati dan mempunyai sanksi. Mungkin inilah yang dimaksudkan oleh Hazairin di atas apa yang disebutnya dengan "adat di-adat-kan". Dengan pemikiran seperti ini adat sudah menjadi suatu peraturan yang disebut dengan hukum adat, yang bermaterikan suatu perintah supaya norma itu dikerjakan oleh anggota masyarakat, dan setiap orang yang bekerja menurut perintah tersebut terlihat baik dan sopan. Atau tidak tertutup kemungkinan bermaterikan larangan-larangan untuk tidaK dilaksanakan dan bagi yang melaksanakan dikatakan "jahat atau tidak sopan" dan untuk melengkapinya harus diberikan sanksi.

2. Sejarah Penerapan Adat dan Hukum Adat di Aceh

Penerapan hukum di Aceh di awali dengan berdirinya Islam dan lahirnya ulama ulama di tanah Pasai. Kerajaan Islam Aceh yang bermuara di Samudera Pasai itu, telah banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka di nusantara. Dalam hikayat Raja Pasai dan sejarah Melayu menyebutkan nama beberapa ulama antara lain Nur al-Haq al-Masriqi dan Abu Ishaq al-Maqrani yang di duga mereka datang dari kerajaan Perlak.

Pada periode awal, banyak orang datang dan belajar di Pasai dari berbagai belahan dunia, antara lain dari Timur Tengah Persia dan India. Setelah beberapa lama menimba pengetahuan agama disana mereka menjadi alim, dan kemudian dijuluki ulama. Dari ciri khas nama-nama mereka yang datang dan belajar di Pasai, mereka bukan penduduk asli pribumi. Hal ini dipelajari dari pengunaan nama mereka masing-masing seperti Makhdum Sadar Jahan, Tun Makhdum Mu'a, Tun Hasan, atau di tilik dari asal usul mereka, seperti Syah Ismail dari Makkah, Fakir dari Ma'abri, Amir Daulasah dari Delhi, Qadhi Amir Sayyid dari Sirad dan Fakih Tajjuddin dari Isfahan.

Umumnya mereka memperoleh ilmu agama dari pusat-pusat studi Islam di sana, khususnya dari tempat munculnya Islam Makkah dan Madinah. Mereka menguasai bahasa Arab, dan memiliki kharisma yang tingi, baik di tempat asalnya atau di tempat lain. Meskipun mereka datang dari berbagai pusat pendidikan mereka mempunyai kesamaan visi dalam bermazhab, yaitu mengikuti mazhab syafi'i, inilah yang menjadi salah satu faktor, raja-raja Pasai terkenal sebagai penganut kuat mazhab Syafi'i.

Dalam hikayat raja Pasai dan sejarah melayu, Syeh Ismail sebagai orang pertama sekali mengislamkan Merah Silu raja Pasai. Syeh ini selanjutnya menganti nama raja tersebut dengan gelar Malik al-Shaleh, atas nama penguasa Makkah. Syeh Ismail dalam perjalanannya ke Pasai di temani oleh seorang "Fakir" dari Ma'abri (Mengeri), selatan India, yang juga membantu menyebarkan ajaran agama Islam. mulai saat itu, Pasai di bangun menjadi sebuah kerajaan Islam sampai Islam berkembang keseluruh bagian nusantara.

Seorang "alim" bernama Syeh Maulana Abubakar, datang ke Malaka dengan membawa kitab berjudul Durr al-Manzum. Sultan Malaka, Mansur Syah (1459-1477 M), sangat tertarik pada kitab tersebut, dan sangat tekun mendalami kitab yang diajarkan oleh Syeh, Karena kitab tersebut di tulis dalam bahasa Arab, Sultan menghendaki agar penjelasan di pahami langsung sebagai yang erkandung dalam kitab tersebut. Dia memerintahkan agar kitab tersebut dibawa ke Pasai untuk dijelaskan kembali Makhdum pematakan seorang ulama Pasai dipercayakan untuk melakukan tugas menjelaskan hasil yang diperoleh dari penjelasan yang dilakukan, makhdum mendapat pujian dari Maulana dan dapat memuaskan Sultan Malaka.[6]

G. Relasi Lembaga-lembaga pelaksana Syariat Islam dengan Lembaga Adat Aceh

1.Majelis Adat Aceh (MAA)

Masyarakat Aceh memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan suku atau masyarakat lain dari berbagai provinsi yang ada di Indonesia. Keunikan masyarakat Aceh terdapat pada aspek adat-istiadatnya yang khas.

Adat istiadat tersebut menjadi identitas bagi masyarakat Aceh. Oleh karena itu, tentu harus ada upaya untuk melestarikannya baik secara individu, kelompok masyarakat dan secara kelembagaan. Salah satu lembaga yang bertanggung jawab terhadap pelestarian adat-istiadat Aceh adalah Majelis Adat Aceh (MAA).

Dalam ketetapan Qanun Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat, Bab I Pasal 1 Poin Nomor 10 Menetapkan bahwa Majelis Adat Aceh yang selanjutnya disebut MAA adalah sebuah majelis penyelenggara kehidupan adat di Aceh yang struktur kelembagaannya sampai tingkat gampong.

2.Peran Majelis Adat Aceh (MAA) Dalam Penerapam Syariat Islam

            Merujuk pada sebuah hadid maja yang sangat popular terkait dengan hukum adat yang berbunyi: "Lampoh meu pageue umong meu ateueng (kebun berpagar sawah berpematang); Nanggroe meu syara', maseng-maseng na Raja (Negeri mempunyai peraturan dan masing-masing mempunyai Raja)" artinya tiap hal ada adat lembaganya, dan tiap-tiap bidang pekerjaan itu mempunyai aturan-aturan tertentu menurut bidangnya masing- masing. Inilah gambaran umum dari kewenangan lembaga Adat/ MAA, termasuk membuat kebijakan adat yang relevan dengan syariat Islam yang berlaku di provinsi Aceh.

Majelis Adat Aceh memiliki peran yang besar dalam membantu pemerintah daerah untuk mewujudkan kesejahteraan perekonomian, pembangunan, dan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Majelis Adat Aceh merupakan salah satu lembaga Adat Aceh memiliki fungsi dan peran sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, menurut Tim peneliti IAIN Ar-Raniry dan Biro keistimewaan Aceh bahwa keberadaan lembaga adat lebih berasas pada alat ukur, pemersatu, dan badan penyelesaian berbagai konflik secara kekeluargaan dan bersahabat dalam masyarakat.

Fungsi dan peran majelis adat aceh sebagaimana ditetapkan dalam ketetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, Bab XIII lembaga Adat, Pasal 98 menetapkan:

(1) Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.

(2) Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat.

(3) Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), meliputi:

a. Majelis Adat Aceh;

b. Imeum mukim atau nama lain;

c. Imeum chik atau nama lain;

d. Keuchik atau nama lain;

e. Tuha peut atau nama lain;

f. Tuha lapan atau nama lain;

g. Imeum meunasah atau nama lain;

h. Keujreun blang atau nama lain;

i. Panglima laot atau nama lain;

j. Pawang glee atau nama lain;

 

3. Sifat dan Kewenangan Lembaga Adat

Lembaga Adat Aceh termasuk Majelis Adat Aceh (MAA) dan unsur adat yang terdapat di tingkat kabupaten/ kota dan gampong/desa merupakan lembaga non struktural di pemerintahan Aceh berkedudukan sebagai mitra pemerintah yang bersifat otonom. Hal ini, merujuk pada ketetapan Qanun Nomor 10 Tahun 2008 lembaga Adat, Bab III Pasal 3 menetapkan, bahwa Lembaga adat bersifat otonom dan independen sebagai mitra Pemerintah sesuai dengan tingkatannya.

Lembaga Adat Aceh dalam menjalankan fungsinya memiliki wewenang untuk membantu pemerintah Aceh untuk mewujudkan pembangunan, kesejahteraan, menjaga keamanan, ketenteraman, menyelesaikan perkara yang terjadi di wilayah lembaga adat, dan membantu pemerintah Aceh terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

Secara formal kewenangan Lembaga Adat Aceh dapat dilihat dalam ketapan Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang lembaga Adat, Bab III Pasal 4 menetapkan, bahwa dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) lembaga adat berwenang:

a. Menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat;

b. Membantu Pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan;

c. Mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat;

d. Menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syari'at Islam;

e. Menerapkan ketentuan adat;

f. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;

g. Mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat; dan

h. Menegakkan hukum adat.

Majelis adat Aceh dan unsur lembaga adat lain yang umumnya terdapat pada tingkat gampong/desa di Aceh memiliki peran dan fungsi pembinaan syariat Islam terhadap masyarakat. Bagian kedua Pasal 8 menetapkan Imeum Mukim atau Nama Lian bertugas:

a. Melakukan pembinaan masyarakat:

b. Melaksanakan kegiatan adat istiadat;

c. Menyelesaikan sengketa;

d. Membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam;

e. Membantu penyelenggaraan pemerintahan; dan

f. Membantu pelaksanaan pembangunan.[7]

 

BAB III

PENUTUP

           

Ø     


[1] Dr. Sulaiman, MA, Studi Syriat Islam Di Aceh,(Banda Aceh, Madani publisher:2018) hal.131

[2] Muhibbuththabary, Wilayatul hisbah di Aceh, (Banda Aceh,pena: 2010) hal. 86

[3] Dr. Sulaiman, MA, Studi Syriat Islam Di Aceh,(Banda Aceh, Madani publisher:2018) hal.139

[5] Dr. Sulaiman, MA, Studi Syriat Islam Di Aceh,(Banda Aceh, Madani publisher:2018) hal.143

[7] Dr. Sulaiman, MA, Studi Syriat Islam Di Aceh,(Banda Aceh, Madani publisher:2018) hal.156\


https://pin.it/3ULEvmj


Posting Komentar

0 Komentar